PELEPASAN TIMOR TIMUR PADA MASA PEMERINTAHAN B.J
HABIBIE
Disusun Oleh :
ENDAH PURNAMA S (12315213)
KELAS : 1TA03
FAKULTAS : TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
Dosen :
EMILIANSHAH BANOWO
ALAMAT : Jl. MARGONDA RAYA 100-DEPOK
KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-NYA yang
senantiasa memberikan kemudahan dalam meyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tidak luput bantuan dari beberapa pihak juga yaitu saya berterimakasih
kepada orang tua yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan, kepada dosen
saya Bapak Emilianshah Banowo selaku dosen “Ilmu Sosial Dasar” yang telah
memberikan motivasi dan kesempatan kepada saya untuk mengerjakan makalah ini.
Adapun makalah ini berdasarkan berbagai sumber yang berkaitan dengan tema dan
judul makalah ini yaitu “PELEPASAN
TIMOR TIMUR PADA MASA PEMERINTAHAN B.J HABIBIE”. Harapan kami, makalah dapat memberi tuntunan konsep
yang praktis bagi mereka, baik praktisi maupun teman-teman mahasiswa dalam
memahami tentang vector, kami menyadari, ini maupun cara penyampaian makalah
ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami mengembangkan saran dan kritik
yang bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberi manfaat bagi kita semua.
Depok , Desember 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KAT
A PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR
ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Peristiwa-peristiwa
yang melatar belakangi lepasnya Timor Timur.....................
3
2.2 Faktor penyebab
lepasnya indonesia dari timor-timur......................................... 7
2.3 Upaya
Pemerintah dalam rangka mempertahankan Timor Timur....................... 7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………. 11
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………………………………… 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada
tanggal 21 Mei 1998 sebagai salah satu presiden terlama di dunia ketika
ditetapkan oleh MPR untuk masa jabatan yang ke -7 pada tanggal 11 Maret
1998. Tetapi setelah dua bulan jabatan ke-7 Soeharto rezim orde baru
runtuh.
Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi
eksistensi DPR dan MPR untuk mengkokohkan kekuasaaanya akhirnya dilengserkan
oleh lembaga yang sama pula , lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 oleh
ketua DPR Harmoko yang didampingi Ismai Hasan Meutareum , Fatimah Achmad dan
utusan daerah di depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan pernyataan bahwa “
Demi kemakmuran persatuan dan kesatuan bangsa pimpinan dewan baik ketua maupun
wakil-wakilnya mengharapkan agar presiden secara arif dan bijaksana
mengundurkan diri dari jabatannya ”.
Usaha terakhir Soeharto mempengaruhi rakyat
menyampaikan pernyataan dihadapan pers pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku
mendataris MPR presiden akan mereshuffle kabinet pembangunan VII dengan
membentuk komite reformasi , untuk lebih meyakinkan rakyat bahwa tugas komite
ini segera menyelesaikan : UU pemilu , UU kepartaian , UU susunan dan kedudukan
DPR MPR dan DPRD ,UU anti monopoli , UU anti korupsi dan hal lainnya yang
sesuai dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi Soeharto terpojok karena 14 menteri
tidak bersedia untuk sepakat dalam komite reformasi tersebut.
Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai
presiden karena dukungan untuk membentuk komite reformasi gagal ditambah lagi
banyak desakan yang menganjurkan presiden untuk mundur dan berhenti. Pada pagi
harinya 21 Mei 1998 pukul 09.05 yang dihadiri Menhankam , Mensesneg , Menteri
Penerangan , Menteri Kehakiman dan Wapres B.J. Habibie beserta pimpinan Mahkamah
Agung , ketua DPR , Sekjen DPR dihadapan wartawan dalam dan luar negeri
presiden Soeharto menyampaikan pengunduran dirinya. Setelahnya wakil presiden
B.J. Habibie langsung dilantik sebgai presiden menggantikan Soeharto dan
diangkat sumpahnya menjadi presiden RI ke-3 dihadapan pimpinan MA. Peristiwa
ini disambut baik oleh masyarakat terutama para mahasiswa yang berada di gedung
MPR maupun DPR dan rezim kekuasaan orde baru Soeharto resmi diruntuhkan dan era
reformasi dimulai di bahwah pemerintahan B.J. Habibie.
Gerakan reformasi dilakukan sebagai bentuk ungkapan
kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat Indonesia dan dilakukan pada saat terjadi
krisis multidimensi di Indonesia. Dengan momentum reformasi itu persoalan
status Timor Timur yang sudah ada pada masa pemerintahan Soeharto menarik
perhatian PBB dan masyarakat Internasional diharapkan memperoleh kejelasan.
Tetapi pada akhirnya masalah status Timor Timur akhirnya lepas dari wilayah
NKRI.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dapat
dirumuskan dari latar belakang diatas adalah :
1. Peristiwa-peristiwa
apa sajakah yang mendorong Timor Timur lepas dari wilayah NKRI ?
2. Faktor
apa saja yang menyebabkan terjadinya pelepasan wilayah Timor Timur ?
3. Bagaimana
upaya pemerintah Indonesia untuk mempertahankan wilayah Timor Timur ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui peristiwa-peristiwa yang mendorong Timor Timur lepas dari wilayah
NKRI.
2. Untuk
mengetahui apa penyebab terjadinya pelepasan wilayah Timor Timur.
3. Untuk
mengetahui upaya pemerintah Indonesia mempertahankan wilayah Timor Timur.
BAB
II
PEMBAHASAN
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur
dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan
Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya
tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada
bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di
tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu,
kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian
masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui
kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979. Namun dinamika
politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya
Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui
jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil
pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur
pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan
internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat
INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan
keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
2.1 Peristiwa-peristiwa
yang melatar belakangi lepasnya Timor Timur.
1. Integrasi
Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga
di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak
mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala
bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires
memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor
Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro.
Setelah ituFRETILIN menurunkan
bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai RepublikDemokratik
Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari
PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di
Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan
pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita
dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan
Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan
integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan
Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang
berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN
terhadap pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor
Leste), masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun.
Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975,
FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk
dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan tentara
Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan
karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di
hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan
terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN
yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan
kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama
Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975.
Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier
di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier
tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN
bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh
kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan
masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali
di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga
dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang
keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan
tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3
bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun
(1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara
resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak
diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara Indonesia.
Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan
bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan
kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak
bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia
yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor
Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak
bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak bisa
hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye
Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan
nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak
bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.
2 Insiden
Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara,
dan Dunia (2002) mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau
kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi,
termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan
pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi
angkakematianpendudukKambojadibawahPolPot. Fakta sejarah ini amat jarang
diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan
menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer,
misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah
tentang Insiden Dili, 12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran
Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi
fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang
terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau
fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang
sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab
kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada
masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian
Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu
kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa,
mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan
rekan mereka, SebastiĆ£o Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia
sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi
parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai
penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta
keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe
adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan
Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar
spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar
pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki
kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi
di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang
meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar
ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika
Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max
Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania
Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke
Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari
penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah
diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap
para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan
dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The
Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh
dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan
Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar,
terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah
mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka
terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa
dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu
karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di
Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor
Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang
Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal
meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan
ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu
penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh
pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika
Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang
tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan
internasional.
2.2 Faktor penyebab lepasnya
indonesia dari timor-timur
a. Tidak
terpenuhinya hak-hak dasar rakyat seperti kesejahteraan, keadilan, keamanan,
pendidikan, dan kesehatan. Belum lagi minimnya sarana pendidikan, kesehatan,
maupun transportasi di sana. Perkara inilah yang membuat saudara-saudara
kita di timor timur tertarik dengan ide kemerdekaan.
b. Lemahnya kesadaran politik masyarakat. Ide-ide disintegrasi yang dimainkan oleh asing gampang diterima masyarakat, padahal disintegrasi merupakan alat permainan negara-negara kapitalis penjajah. Yang diuntungkan dari disintegrasi adalah negara-negara penjajah. Karena itu, meminta bantuan kepada negara-negara kapitalis penjajah sesungguhnya bukanlah solusi, tetapi justru akan menimbulkan penderitaan baru.
b. Lemahnya kesadaran politik masyarakat. Ide-ide disintegrasi yang dimainkan oleh asing gampang diterima masyarakat, padahal disintegrasi merupakan alat permainan negara-negara kapitalis penjajah. Yang diuntungkan dari disintegrasi adalah negara-negara penjajah. Karena itu, meminta bantuan kepada negara-negara kapitalis penjajah sesungguhnya bukanlah solusi, tetapi justru akan menimbulkan penderitaan baru.
2.3. Upaya
Pemerintah dalam rangka mempertahankan Timor Timur
1. Otonomi
luas yang diberikan pada timor timur
2. Kebebasan
berupa jejak pendapat bagi masyarakat timor timur untuk memilih tetap
menjadi bagian indonesia ataukah memisahkan diri dan merdeka
3. Kebijakan
presiden B.J. Habibiedengan memberikan opsi referendum untuk mencapai solusi
final atas masalah timor timur
Munculnya
tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang
terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna
mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah
Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada
Juni 1998, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus
berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada
Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga
antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi
kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur.
Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat internasional,
khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran utama speech act dalam
usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.
Berangkat
dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia
internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat
Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut,
pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati
Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi jajak pendapat.
Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor
Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah
negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak
Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang
dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha
sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.
Kunci
dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan
internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting
untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan
oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha
sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka
dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan
kemerdekaan Timor Timur.
Pada
HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste
tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah
Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami
karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan
anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula
negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas
koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975.
Dinamika
politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya
Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa
Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur
menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur
dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang
menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur.
Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia
ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan
pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan
tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.
Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di
akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan
menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final
atas masalah Timor Timur.
Beberapa
pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang
dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada
Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi
jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat
tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib
sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun,
Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan
di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya
otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah
dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie
sendiri.
Aksi
kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa
hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi
opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden
transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan
saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada
masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal
Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan
posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto
mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998.
Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar
adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan
senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan
menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua
Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung Habibie kehilangan legitimasi
baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia
dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung
langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung
milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur
setelah referendum.
Di
mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen
nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin
Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk
memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya,
citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal
sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi
segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal
30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan
Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor
Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang
nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada
akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat
Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk
merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan
yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah
yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua
ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam
memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang
nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur.
Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di
kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan
menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atauInternational
Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor
Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di
kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Terkait
hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di Timor Timur pada
1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia
mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat itu pada 1999 mengakui hasil jajak
pendapat tersebut.
Sejak
awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang
terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui
pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan
yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh
yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui,
adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang
menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena
rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri Indonesia
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan
dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh
besar terhadap arah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia antara lain
ditandai dengan krisis ekonomi yang parah, di mana krisis ini dengan segera
menjadi pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis
kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang berujung
pada proses disintegrasi seperti yang terjadi pada kasus Timor Timur. Adanya
perubahan dinamika kondisi internal tersebut telah memaksa pemerintah untuk
menyesuaikan politik luar negerinya sesuai dengan tuntutan zaman bagi
kepentingan nasional. Situasi sosial politik dan keamanan serta masalah ekonomi
di tanah air juga menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar
negeri. Gerakan separatis yang mengarah pada pemisahan diri atau
disintegrasi dari Indonesia harus dicermati agar pintu masuknya penjajah dalam
rangka mengendalikan Indonesia dapat ditutup rapat-rapat. Dan jika dilihat pada
kasus Timor Timur, terdapat upaya internasionalisasi konflik domestik yang pada
akhirnya mengokohkan intervensi Negara-Negara asing untuk memisahkan wilayah konflik
tersebut dari induknya, Indonesia. Sehingga di sini, politik luar negeri
Indonesia ditujukan untuk menjaga kekuatan Indonesia, persatuan bangsa, serta
stabilitas nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
· Downer,
Alexander (Menteri Luar Negeri Australia). 2000. East Timor – looking back
on 1999, Australian Journal of International Affairs, vol.54/1 , hal.5.
· Richburg,
Keith. 1999. Seven days in May that toppled a titan: back-room intrigue
led to Suharto’s fall
· Aspinall,
E., Van Klinken, G., Feith, H. (eds), The last days of President Suharto(Monash
University: Monash Asia Institute, hal.70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar